Halaman

Kamis, 24 Juni 2010

Pasar Sentral Makassar
Oleh: Ayu Indayanti Ismail
Pagi yang menyenangkan. Itulah yang merajai pikiran dan perasaanku saat ini. Meringankan langkahku menyusuri deretan rumah yang hampir sejenis di kawasan perumahan NTI yang asri. Mengembangkan senyumku pada setiap orang yang kutemui. Sambil tak hentinya pikiranku melambungkan angan tentang semua hal indah yang kan kulalui. Langkah demi langkah yang pada hari biasa tak jarang kuiringi dengan gerutuan serta keluhan akan teriknya matahari yang menimpa kepalaku tanpa belas kasihan sedikitpun ditambah jarak 1 km yang harus kutempuh untuk mencapai jalan raya, pemberhentian pete-pete, bagi kebanyakan orang sangat melelahkan, hari ini tak ingin kurasakan. Aku sudah berikrar takkan kubiarkan seluruh faktor eksternal tersebut merusak suasana internal yang membahagiakanku sekarang. Sudah terancang dan tergambar dengan runtut rute ruko-ruko yang menjadi targetku sesuai dengan list belanja yang harus kupenuhi. Bahkan hiruk-pikuk transaksi tawar-menawar sudah menjelma di benakku. “Pokoknya semua barang yang kubeli harus kudapatkan dengan harga semiring mungkin.” tekadku membaja.
Kebahagiaanku semakin mendekati titik klimaksnya. Tampak di depanku sekarang jalan raya lengkap dengan tiga sekaligus pete-pete yang memperebutkan aku tuk jadi penumpangnya. Jadi ngerasa sedikit tersanjung juga nih, dinantikan sekaligus diperebutkan, sebab kutahu ketiga pete-pete ini sudah berhenti meskipun jarakku sebagai targetnya masih merupakan titik kecil yang hanya kalangan mereka si mata elang yang sangat piawai melakukannya dan dengan gentlenya mereka bersaing sehat menyerahkan sepenuhnya keputusan bagi penumpang menentukan pilihannya. Akhirnya, kujatuhkan pilihanku pada pete-pete yang ada di tengah, tentunya karena pertimbangan kenyamanan didukung penilaian sekilas terhadap garis wajah dari para supirnya. Dan kurasa pete-pete kedua inilah yang memenuhi segala kriteria itu.
Kupilih bangku kanan paling belakang. Tempat paling strategis. Bisa dijadikan sandaran sekaligus menikmati pemandangan kota Makassar dari balik kaca. Belum lagi lantunan musik yang sangat membahana dari tempat ini. Pete-pete lalu melaju dengan mantap, membelah lautan kendaraan yang bagiku nampak sebagai ajang pembuktian ketangkasan dan kepiawaian mengendarai kendaraan berroda empat berwarna biru ini. Angin seakan berlomba menerbangkan dan membumbungkan segenap asa dalam ranah pikiran para penumpang. Berlomba memberikan kesejukan serta sunggingan senyuman luapan kebahagiaan.
Pete-pete yang kutumpangi akhirnya memasuki area sentral. Pasar Sentral tepatnya. Yang merupakan rute terakhir jalur kendaraan ini sebelum kembali pada rute awalnya yakni Daya, makanya lebih dikenal sebagai pete-pete Daya. “Huft… akhirnya sampai juga.” Kurapatkan ransel yang ada di punggungku. Selangkah lagi semua yang kutargetkan dalam secarik kertas ini akan segera terpenuhi.
“ Apa mau kita beli, Dek?”
“ Kesinimi dulu, liat-liat saja tidak papaji Dek!”
“ Sinimie, barang baru ini semua!”
“ Apakah mau kita beli, Adek?”
Pertanyaan sejenis datang silih berganti dari berlainan penjual yang tak henti-hentinya mendengungkan hal yang sama pada setiap orang yang melalui emperan mereka. Membuatku bingung menentukan pilihan. Sedikit membuyarkan runtutan rute yang telah kupersiapkan. Baru kali ini kurasakan ketidaknyamanan berjalan sendirian, padahal biasanya berjalan-jalan seorang diri merupakan kesenangan tersendiri bagiku. Namun sekarang ada rasa bingung yang sangat melingkupi perasaanku. Tidak ada seseorang yang bisa kuajak berunding atau meminta pendapat menentukan pilihan toko yang harus kusinggahi. Bismillahirrahmanirrahim, kupilih toko yang penjualnya seorang ibu paru baya mengenakan songkok haji serta seorang gadis seumuran denganku. Kuharap ini benar-benar toko yang tepat.
“ Liat-liatmi saja dulu, Dek!”. Ujar penjaga toko yang menyambutku disertai senyuman menenangkan seakan dapat menetralkan kebimbanganku tadi.
Kumanfaatkan kesempatan itu. Kuedarkan pandangan mencari kemeja lengan panjang kotak-kotak berwarna biru sekaligus rok biru senada. Kupaskan ke badan kemeja yang sekiranya mendekati kriteria yang kuinginkan. Kusebutkan juga pada gadis tadi seperti apa kemeja yang kuingini. 15 menit berlalu dengan cepat. Belum kutemukan yang menjadi pencarianku. Padahal akibat keinginanku yang tak kunjung terpenuhi sekarang telah terhampar lautan baju yang tadi kucoba.
“ Ambilmi itu satu baju disitu.”
“ Heh, tidak ada yang cocok Ibu, mungkin saya carimi saja di tempat lain.”
“ Heh, apa maksunnu?, harus kau ambil itu satu baju sudah diambilkanmi, sudah kau bongkar-bongkarmi juga, masa tidak ada kau ambil? Enakmu..!”
“ Iye, saya ambilmi pale’ yang ini, berapaki kalo yang ini, Bu?”
“ Enam puluh ribu itu.”
“ Tiga puluh ribumi, bisa?”
“ Pasnya lima puluh ribu, tidak bisami itu kurang.”
“ Maaf Bu, 35 ribumi kalo kita mau saya bayarmi sekarang kalo tidak saya carimi saja di tempat lain.” Kudapati Ia hanya diam seakan mengacuhkanku.
“ Sembarangna inie, hebatmu matawar, kalau tidak adaji uangmu bilangmo saja, janganmo bergaya, tidak ada yang cocoklah, balle sekali! Capek-capekmiki kasih lihatko semua barangta tidak adaji nabeli. Kusumpahiko, nanti kalo adami yang mau lamarko natawar dengan harga sangat murahko juga.”
Kupejamkan mata. Berharap pendengaranku tidak berfungsi sesaat kali ini saja. Kuberanikan diriku untuk tetap melangkah. Berharap segera berlalu dari tempat yang tak kusangka akan memberikan sumpah serapah menorehkan luka mendalam dihatiku. Sirna seluruh gairah kebahagiaan yang kurasakan tadi. Berganti rasa miris, begitu mudahnya Ibu itu memberikan sumpah serapah. Tidak takutkah Ia bahwa doa yang buruk hanya akan kembali pada si pendoanya. ” Salahkah tindakanku tadi? Sebegitu menjengkelkankah sikapuku barusan?”.
“ Dek, apa kita cari?, Tidak mauki beli Al Qur’an terjemahan?” ujar seorang kakek membuyarkan lamunanku.
“ Iye,coba saya lihat Al Quranta’, Pak! Ada yang warna biru?”
“ Ho, ndak ada yang biru, Nak! Inimo yang warna merah marun!”
“ Berapa Pak?”
“ Langsungmi saja harga pasnya, 40ribu Nak!”
“ Iya, saya ambilmi yang ini Pak.”
“ Heh, kalo bisa Bapak kasih pesan, janganki terlalu cepat menilai sesuatu. Jangan hanya melihat satu sisi saja. Di dunia ini pasti segala hal memiliki dua sisi berbeda, disinilah tugas kita mencari hikmah di balik itu semua. Satu lagi, memberi maaf itu tidak mudah tapi mulia.”
Ungkapan kakek di hadapanku bagaikan embun menyejukkan yang membasahi jiwaku yang memang menjadi kering karena ada sisi yang merasakan sakit hati tak terperi bermuara pada dengungan kebencian disana. Kurekahkan senyum terbaikku untuknya. Kebahagiaan memang berpihak padaku hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar